Selamat Datang di Blog Saya.!

"Mohon maaf jika ada salah kata dari penulis, karena penulis hanyalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam tata bahasa, apabila menyinggung mungkin itu kesalahan ada pada mata anda bukan pada tulisan saya.. hhe.. maksud saya, tentu saja itu saya lakukan secara tidak sengaja dan tidak bermaksud seperti itu, mohon dimaklumi.. dan satu lagi, pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar setelah membaca.. termakasih.! Selamat membaca.!"

Sabtu, 26 Desember 2009

D'masiv - Rindu Setengah Mati

D’Masiv feat. Kevin Aprilio – Rindu Setengah Mati (OST Kejora dan Bintang)

aku ingin engkau ada di sini

menemaniku saat sepi

menemaniku saat gundah

berat hidup ini tanpa dirimu

ku hanya mencintai kamu

ku hanya memiliki kamu

reff:

aku rindu setengah mati kepadamu

sungguh ku ingin kau tahu

aku rindu setengah mati

meski tlah lama kita tak bertemu

ku selalu memimpikan kamu

ku tak bisa hidup tanpamu

repeat reff

aku rindu setengah mati

aku rindu setengah mati kepadamu

sungguh ku ingin kau tahu

aku rindu


Lirik lagu D’Masiv feat. Kevin Aprilio – Rindu Setengah Mati (OST Kejora dan Bintang) ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 D’Masiv feat. Kevin Aprilio – Rindu Setengah Mati (OST Kejora dan Bintang).

Kamis, 17 Desember 2009

Selamat Pagi....!!!

Selamat pagi semuanya....!!!! Waaaaah... hari ini mau berangkat ke sekolah males banget.. padahal tinggal ngumpulin tugas aja.. itu juga kalo masih di terima, hahahahah! Ngga' biasanya g semangat niy, g tau kenapa! Class meeting juga gitu-gitu aja... uda biasa.. taun kemarin juga gitu, sekarang juga gitu, tahun besok pasti gitu lagi.. gitu-gituu terus sampe mampus! hahaha aneh ya...? Ya udah lah, gua mau berangkat sekolah dulu siapa tau ketemu co cakep.. huehehehehe.. (ngarep ni gue nya..)

Y udah, gua berangkat dulu niy... tha...

O iya, cerpen gua ngelanjutinnya entar-entar aja... kalo ada waktu luang, biasalah sibuk gitu... hehehe...

Senin, 14 Desember 2009

My Confession


Panas matahari siang itu menyilaukan. Begitu panas membakar kulit. Saat itu aku sedang berada di sebuah halte. Aku menunggu bus yang tak kunjung datang. Aku benci ini, harus menunggu dan berdesakaan di dalam bus. Tapi hari ini terasa berbeda. Karena aku menunggu seseorang yang aku cintai.
Aku mengenalnya sudah hampir lebih dari dua tahun dan aku jatuh cinta padanya. Tapi dia tidak pernah tahu apa yang aku rasakan. Bahkan, mungkin dia tidak mengenalku sama sekali. Aku bertemu dia di dalam bus yang selalu ku tumpangi ini. Saat itu, dia meminta ijin untuk duduk di bangku yang ada di sampingku yang kebetulan kosong. Sejak pertama melihatnya aku tahu, aku jatuh cinta padanya. Dia pun duduk di sampingku. Kami berdua hanya terdiam. Aku tidak berani mengucapkan satu kata pun. Detak jantungku terlalu keras hingga aku tidak dapat memikirkan satu kata yang harus aku ucapkan. Kejadian itu terus berulang hingga saat ini.
“Hey!” sapa Upi membuyarkan khayalanku.
“Eh, kamu Pi, bikin kaget aja!”
“Lagi mikirin apaan sih kamu Dan? Cowok misterius itu lagi?”
“Sok tahu deh, aku lagi ngga’ mikirin apa-apa kok!”
“Halah, ngga’ usah bohong deh Dan, aku tahu kebiasaanmu kayak kita baru kenal aja! Eh, ngomong-ngomong, hari ini dia pake baju apa?”
“Aku ngga’ ketemu dia di bus,” jawabku kecewa,
“Loh? Kok bisa ngga’ ketemu?”
Aku mengangkat bahu.
“Kamu kepagian kali Dan, atau mungkin dia yang telat bangun?”
“Ngga’ mungkinlah, aku selalu berangkat di jam yang sama,” aku membela diri.
“Tau’ah, itu juga bukan urusan aku gitu,”
“Lagian kamu, tanyanya yang aneh-aneh!”
“Aku kan Cuma tanya Dan,” bela Upi. Aku tersenyum melihat raut muka Upi yang terlihat manyun.
“Danish, dokter Dika butuh bantuan di bangsal Anggrek tuh!” ungkap seorang suster yang baru saja datang.
“Ya, saya akan segera kesana! Aku pergi dulu ya Pi, ada tugas nih!”
“Ya.” Jawab Upi singkat, sepertinya dia masih marah. Aku segera pergi dari meja resepsionis rumahsakit tempat aku bekerja.
Namaku Danish, aku adalah seorang suster disebuah rumahsakit yang cukup besar dan ternama. Tapi bagiku semua rumah sakit sama saja, karena disana hanya ada orang sakit dan mayat. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa bekerja menjadi seorang suster yang harus selalu siap menangani pasien.
Upi adalah salah satu teman dekatku di rumahsakit. Dia sama denganku, dia juga tidak tahu kenapa dia bisa terdampar di rumahsakit dan menjadi suster yang berurusan dengan orang sakit dan mayat. Aku selalu menceritakan masalahku kepadanya. Karena hanya dia yang bisa aku andalkan. Hanya dia teman baikku untuk saat ini. Dan aku percaya, dia akan selalu bersamaku di saat aku susah ataupun senang. Begitu juga sebaliknya, aku akan selalu mendukungnya dan berada disampingnya. Itulah sebuah persahabatan.
Hari mulai gelap dan tiba saatnya untuk pulang. Seperti biasa, aku harus berjalan kaki menuju ke halte terdekat. Ketika aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri ku. Mataku terbelalak saat mengetahui sudah pukul lima sore. Dan aku segera berpamitan kepada Upi.
“Upi, aku pulang dulu yah! Aku takut telat!!” ungkapku terburu-buru.
“Emangnya kamu mau kemana Dan? Ada janji ya?” Upi jadi bingung.
“Ada deh! Aku pulang dulu ya... dagh...” aku segera berlari meninggalkan Upi yang terlihat masih bingung.
Dengan penuh semangat aku terus berlari menuju ke sebuah tempat yang selalu menahanku ketika aku ingin pulang.
“Ya Tuhan, semoga aku tidak terlambat! Aku mohon, ijinkan aku bertemu dia untuk hari ini!”
Aku terus berlari dan berhenti tepat di seberang jalan toko penjual alat musik. Aku terengah-engah. Aku berusaha menegakkan badan dan melihat kearah toko itu.
Aku melihatnya bermain piano seperti biasanya. Terimakasih Tuhan, aku melihatnya hari ini dan dia baik-baik saja. Aku melihat seorang laki-laki berbadan tegap sedang memainkan sebuah lagu dari balik piano klasik. Dia adalah laki-laki yang tak kulihat pagi tadi.
Aku terus memandanginya dan merasa ada yang beda dari dirinya. Astaga, dia tersenyum. Itu tidak seperti biasanya. Biasanya dia akan melantunkan lagu klasik yang indah dan mendayu-dayu, tapi kenapa hari ini dia tersenyum dan memainkan lagu semangat dan ceria?
Pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku hingga aku tidak sadar kalau aku terlalu memperhatikannya hingga membuat Annas tidak nyaman dan dia menoleh kearahku. Aku terkejut, saat aku ingin mengembangkan senyum di wajahku, aku melihat seorang wanita menghampirinya dan membawakannya secangkir kopi. Annas menatap wanita itu sambil tersenyum. Dan mereka berciuman.
Seketika itu juga, hatiku luluh lantah. Aku sedih dan aku menangis. Apakah seperti ini rasanya melihat orang yang kita cintai berciuman dengan orang lain? Tapi perasaan ini terlalu menyakitkan untuk ku. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang cinta, harus merasakan pedih ini sebelum merasakan indahnya cinta. Saat itu juga aku merasa Tuhan tidak adil padaku.
Entah kenapa aku menyalahkan Tuhan. Bukannya ini semua karena kebodohanku yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku kepadanya selama ini? Aku memang terlalu bodoh untuk mengenal cinta. Aku memang terlalu bodoh karena percaya bahwa setiap percintaan selalu berakhir bahagia.  Ini semua karena kebodohanku yang selalu berharap dia mengenalku dan jatuh cinta kepadaku, layaknya seorang pangeran yang jatuh cinta kepada cinderella karena kesederhanaannya. Andaikan itu terjadi kepadaku! Aku pun tak kuasa menahan air mata yang jatuh dari pelupuk mataku dan aku pergi meninggalkan Romeo dan Juliet yang sedang bercinta.
“Ada apa sayang?” tanya wanita yang ada di samping laki-laki yang aku cintai,
“Eh, ngga’! Tadi sepertinya aku melihat seseorang di seberang, dia sedang melihat ku. Aneh, kenapa sekarang tidak ada ya?” lelaki itu mencari-cari sosok wanita yang selalu mengamatinya dari seberang jalan.
“Mungkin dia sudah pergi, atau mungkin kamu salah lihat,”
“Yeah, mungkin,” lelaki itu terus mencari-cari diantara kerumunan orang yang berlalu lalang di trotoar.
Di dalam bus, aku menangis. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang memandangiku saat itu. Aku hanya mengasihani diriku sendiri. Menyesali kebodohanku yang pernah berpikir untuk memisahkan Romeo dari Juliet. Aku tahu, aku hanya bisa bermimpi untuk mendapatkan dia. Tapi aku merasa ini tetap tidak adil. Kenapa harus wanita itu yang berdiri disampingnya dan tersenyum kepadanya? Kenapa dia tidak pernah tahu kalau aku ada? Kenapa dia tidak pernah tahu kalau setiap malam aku berdoa untuk sekedar mengharap dia tersenyum padaku? Kenapa takdir tidak pernah mau berpihak kepadaku? Kenapa aku selalu kecewa Tuhan? Apa aku tidak berhak mendapatkan keindahan dari sebuah cinta? Ataukah aku harus selalu mengalah dengan keadaan? Jika memang itu yang terbaik mungkin aku akan melakukannya. Dan aku akan melupakan dia dari kehidupanku.
Pagi ini matahari bersinar terang dan cerah, namun tidak secerah hatiku. Aku masih dalam suasana duka. Aku tidak bisa melupakan kejadian yang aku lihat di toko alat musik kemarin sore. Melihat seorang yang aku cintai berciuman dengan wanita lain. Begitu menyakitkan. Setiap aku mengingatnya membuatku sulit bernafas.
Dugh!
“Auw!” jeritku saat seseorang menabrakku dari belakang.
“Eh, maaf, saya tidak sengaja!” dia melihatku berdiri terpaku sambil memegang bahuku yang terasa sakit. Pandangan kami beradu sekitar beberapa detik. Dia terus memandangiku hingga seseorang memanggilnya.
“Sayang, cepet dong! Ngapain sih kamu disitu?” teriak seorang wanita yang berdiri disamping mobil Jazz biru. Itu wanita yang kemarin aku lihat dan tentu saja lelaki yang menabrakku adalah orang yang aku cintai.
“Iya, sayang!” laki-laki itu segera berpaling dan menghampiri seorang wanita yang tengah menunggunya. Aku segera menundukkan kepala kemudian melanjutkan langkahku.
“Ngeliatin apaan sih?” wanita itu mulai kesal melihat kekasihnya lebih memperhatikan orang lain.
“Ngga’ kok! Yuk kita pulang!” laki-laki itu tersenyum pada sang wanita. Mereka berdua pun keluar dari rumahsakit.
Setelah kejadian yang baru saja ku alami, aku menjadi kurang konsentrasi dalam bekerja. Aku sering melamun. Begitu kata Upi.
“Kamu ngga’ papa kan?” tanya Upi khawatir melihat perbedaan sikapku.
“Eh, iya, aku ngga’ papa kok!” aku tersenyum.
“Aku bisa kok mintain ijin buat kamu ke dokter Dika! Aku yakin dia bakal ngerti!”
“Aku beneran ngga’ papa kok! Liat, ngga’ ada yang kurang kan?” aku memutar badanku, meyakinkan Upi.
“Iya deh, aku percaya! Eh, tadi kamu disuruh bantuin dokter Dika di bangsal Anggrek. Tuh, dokter emang ngga’ bisa liat kamu istirahat apa ya? Atau jangan-jangan dia naksir lagi sama kamu?” omongan Upi mulai ngelantur.
“Apaan sih! Ngaco! Udah ah, aku mau memeriksa pasien dulu!”
Baru beberapa langkah aku meninggalkan meja resepsionis, aku menghentikan langkahku. Aku terdiam terpaku ketika melihat laki-laki itu kembali. Laki-laki yang aku cintai diam-diam. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, aku membalikkan badanku.
“Kenapa Dan?” Upi memandangku bingung.
“Dia disini!” ungkapku lirih.
“Siapa?” Upi melihat seorang laki-laki berjalan menuju ke arahnya, “Cowok misterius itu ya? Eh, dia menuju kesini loh!” Upi terlihat sangat bersemangat. Tiba-tiba saja Upi menarik tanganku dan mendorongku hingga berada tepat di depan laki-laki itu.
“Upiii...!” jeritku lirih.
Upi hanya memberi isyarat agar aku segera melayaninya.
“Permisi... saya ingin bertemu dengan dokter Dika, bisa? Saya lupa menanyakan sesuatu,”
Ya Tuhan! Dia benar-benar berbicara padaku!! Apa yang harus aku lakukan?? Aku masih terdiam di tempatku.
“Ehm, permisi, suster?”
“Maaf kan teman saya pak! Ada yang bisa saya bantu?” Upi segera menggantikan posisiku.
“Saya ingin bertemu dengan dokter Dika, bisa?” laki-laki itu mengulangi keperluannya.
“Tentu saja bisa! Suster Danish yang akan mengantarkan Anda!” Upi menoleh kearahku. Tatapan Upi membuatku kaget.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Tolong antarkan tuan ... Maaf, kalau boleh tahu nama Anda?”
“Radit,”
“Tolong antarkan tuan Radit menemui dokter Dhika!” Upi tersenyum lebar penuh kemenangan. Aku hanya menatapnya tak percaya.
Upi mendorong badanku hingga hampir menabrak laki-laki bernama Radit itu. Dengan sedikit gagap aku mengantarnya.
“Mari, saya antar!”
Dan kami pun berjalan berdampingan. Jantung ku selalu berdegub kencang sepanjang perjalanan menuju  bangsal Anggrek, tempat dokter Dhika memeriksa pasiennya.
“Ehm, kalau boleh tahu, apa kita pernah bertemu ya?”
“Ha? Maaf,” aku menundukkan kepala karena terkejut dengan pertanyaannya, “Kenapa Anda bertanya seperti itu?”
“Tidak, aku hanya merasa tak asing lagi denganmu. Aku rasa aku pernah melihatmu,”
“Saya rasa, Anda memang sering melihat saya tapi tidak benar-benar melihat,” ungkap ku datar. Aku mencoba menyembunyikan perasaan ku sebenarnya.


Bersambung...